Pages

Wednesday, June 15, 2011

Ketika merah adalah jalan, hijau waspada

**Itu apaan step?**
*yang mana?*
**yang judul di atas**
*ooooohhh. Itu? Menurut mu?*
**emmmmm. Setauku, merah berhenti hijau jalan**
*apa yang kayak gitu?*
**lampu lalu lintas**
*di mana?*
**ya di jalan**
*jalan yang mana?*
**jalan yang ada polisi lalu lintasnya**

Nah, jadi, setujukah anda?
Saya sih gak mengharuskan setuju. Tapi kenyataan yang berbicara. Ini berangkat dari keprihatinan saya tadi malam sepulang dari gereja.
Di lampu merah daerah kebayoran, di sebuah perempatan besar nan ramai, lampu merah kebetulan menyala. Padat, kerena itu jam pulang kantor, ramai, karena banyak motor yang berdesak-desakan dan selalu berusaha menjadi yang terdepan. Lalu, ketika motor yang dikendarai oleh mama saya mau maju lagi, saya segera menarik jaketnya sekuat-kuatnya dan berteriak (karena berisik kan) “Jangan jadi orang yang gak taat sama peraturan. Kalalu lampu merah, kita harus tetap di belakang garis putih. Jangan tertib Cuma kalau ada petugas. Itu namanya orang gak berpendidikan”
Dan motor pun tidak maju lagi.

Tapi beberapa detik kemudian, ketika jalanan yang dapat giliran lampu hijau mulai sepi, beberapa motor nekat untuk menerobos. Dan beberapa saaat kemudian, yang saya tahu adalah bunyi klakson yang sangat kencang dan makian dari beberapa orang di metromini dan motor.
Belum cukup itu saja. Motor-motor tersebut sangat jauh melewati garis putih lampu lalu lintas dan tetap berusaha mencari kesempatan untuk menyebrang ketika jalanan masih sepi.

Yang saya bingung, bukankah nanti lampu itu akan tetap menyala juga jadi hijau?
Bukankah lebih baik kalau kita menyebrang dengan santai, gak seperti seorang pencuri yang harus waspada?
Dan bukankah itu bisa menunjukkan bahwa benar budaya Indonesia adalah santun dan hormat?

Maka, setiap kali saya naik motor, saya selalu memperhatikan kanan dan kiri untuk mencegah adanya pengemudi bodoh yang tidak bisa membedakan warna hijau dan merah.

Saya kenal seorang kakak kelas yang namanya Bang Rian. Dia menderita buta warna dan ketika melihat lampu lalu lintas, ia tidak melihat ke warnanya, tapi ke letak ketika lampu itu menyala. Jika lampu yang atas menyala, berarti dia harus berhenti. Dan jika yang paling bawah yang menyala, maka dia boleh jalan. Dan selama ini pergi berasamanya, dia gak pernah melanggar peraturan yang sudah dibuat oleh pemerintah berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ya, taat peraturan juga sebenarnya menunjukkan tingkat pendidikan seseorang. Tidak perlu gelar S2 atau S3 untuk menilainya. Dia adalah orang yang cerdas ketika bisa menghargai peraturan. Sebab ia bisa memikirkan dampak bagi dirinya maupun orang lain. Cerdas bukan?

Dan itu bukanlah pengalaman pertama. Sudah terlalu sering lampu lalu lintas hanya dijadikan pajangan yang akan dipatuhi ketika polusi berseragam coklat dan memakai rompi hijau menyala berada di perempatan tersebut.

Di sepanjang jalan dari kebayoran menuju ciledug atau sebaliknya, sangat mudah menemukan pelanggaran lampu lalu lintas. Dan memang seringkali yang melanggar adalah pengguna sepeda motor. Namun, itu tidak berarti merugikan. Tetap membahayakan pengguna jalan yang lain. Apalagi, bus-bus yang kejar setoran seringkali juga ikut-ikutan untuk menyerobot lampu merah demi target tercapai. Kalau sudah begitu, macet pun bisa ditimbulkan.

Nah, bagaimana dengan kita?

Maukah bangsa kita- secara khusus masyarakat Jakarta terus-menerus mencerminkan sikap tidak tertib yang menujukkan kualitas masyarakat yang tidak baik? Ataukah kita mau sama-sama menghargai satu dengan yang lain sehingga kita pun bias tetap dihargai?

Jangan taat hanya karena takut dihukum, tapi taat lah karena kita menghargai diri sendiri dan orang lain :)

No comments:

Post a Comment