Pages

Wednesday, June 15, 2011

Betapa sulitnya nyebrang

Senin dan selasa kemarin, untung gue gak lupa bawa muka tembok gue. Berbekal  dengan urat malu yang sengaja gue lepas, dan dengan tampang semanis mungkin (yang justru bikin orang ngelihatnya pengen langsung kabur begitu ngelihat gue) gue berdiri di depan stasiun Tanjung Barat

**mau ngapain step?**
*mau nyebrang*
**loh? Orang mah di stasiun naik kereta step**
*lah? Kan gue udah bilang gue di depan stasiunnya. Kalau naik,di mana?*
**oh iya. Di dalemnya ya. Heheehehe**

Maka, di tengah kebisingan jalan raya dan debu yang sibuk menari-nari serta asap tebal yang menutupi sang mentari, gue terus berdiri di depan stasiun.
Persis kayak video klipnya Nikita Willy yang “Ku akan menanti”, gue pun menanti sang pangeran dating menjemput.
Namun gue inget, pangeran gue kudanya kemaren patah kakinya. Jadi gak mungkin dia jemput gue. Akhirnya, mat ague melekat pada sesosok tubuh dengan muka keriput menggunakan kacamata. Rambutnya udah ubanan dan perutnya agak buncit. Tapi dia terlihat baik. Maka, dengan suara semerdu mungkin, gue pun berkata kepada si Bapak tersebut ; ‘Pak, maaf. Boleh saya minta tolong?” (Mungkin si bapak itu mikirnya gue akan ngerampok dia) “Em, iya dek. Ada apa?” “Saya gak bisa nyebrang” “Oh, kalau gitu ayo bareng” Dan gue pun membuang nafas lega….

Itu bukan pengalam pertama gue gak bisa nyebrang.

Tiap malem, pulang dari kantor, gue harus berani menyebrangi jembatan penyebrangan yang ada di BLOK-M. Kenapa? Bukankah seharusnya aman?
Kalau gak percaya, buktikan sendiri.
Jembatan itu menghubungkan Pasaraya Grande dengan Hotel Ambhara. Kondisinya kalau malam GELAP BANGET karena SAMA SEKALI GAK ADA LAMPU. Dan bukan hanya itu saja. Banyak pejalan kaki yang memang lebih memilih untuk menyebrang tanpa jembatan penyebrangan dan memilih jalan praktis dengan nyebrang di jalan. Yang jelas-jelas sangat berbahaya. Tapi, polisi cuek aja tuh.

Selain itu, kalau gue harus ke sekretariat PSKJS, gue harus menempuh perjuangan panjang Cuma untuk nyebrang. Ya, sekalinya gue memang gak bisa nyebrang, gue akan minta orang yang di dalem sekret  untuk bantu gue nyebrang. Atau gue akan berdoa sama Tuhan supaya jalanan bisa sepi.

Kenapa gue bisa takut banget sama yang namanya Nyebrang?

Di bilang phobia atau trauma gak juga, karena gue masih bisa kan nyebrang sendiri? Tapi, gue Cuma takut banget kalau ngelihat kendaraan yang melaju dengan cepat itu. Bukannya apa-apa. Gue udah 2 kali sukses keserempet motor dan keduanya meninggalkan tanda kenangan di kaki gue. Yang paling parah adalah di kaki sebelah kanan yang  menyebabkan gue gak bisa jalan selama sebulan.

Naqh, karena itu,. Kalau jalanan belom sepi, atau kendaraannya gak jauh, gue lebih memilih untuk gak nyebrang. Walaupun itu udah ditemenin sama orang. Gue lebih baik menunggu jalanan sepi atau menunggu kendaraan masih dalam keadaan jauh untuk nyebrang. Daripada akhirnmya gue berakhir tragis kayak yang di sinetron-sinetron lebay itu. Yang jelas-jelas jalanannya sepi, terus tiba-tiba dating mobil dan mkobilnya gak ngerem walau masih jauh atau orangnya bukannya minggir tapi malah teriak dan malah ada yang sempet nyelametin. #LEBAAAAYYYYYY.

Selain itu, kondisi masyarakat Indonesia bukanlah orang-orang yang dengan mudahnya  menghargai para pejalan kaki tak bersalah. Kalalu memang did ekat kami tidak ada zebra cross atau jembatan penyebrangan, maka mau tidak mau kami harus menyebrang sembarangan bukan?
Selain itu, zebra cross juga biasanya dipenuhi oleh motor saat lampu merah. Betul hai kalian para pengendara?!

Jadi, kalau ada yang bilang, nanti mobilnya juga akan berhenti kalau kita nyebrang, pertanyaan gue adalah ;  TAU DARIMANA SITU?

Maka, pesan saya adalah;

Saling menghargai di jalan raya akan menciptakan ketentraman :)

No comments:

Post a Comment