Pages

Wednesday, June 15, 2011

Pengamen di bus kota

Kemarin, gue pulang sama salah seorang karyawan di kantor. Kami naik angkutan yang gak pernah gue naiki sebelumnya. Pertama-tama, kami naik angkutan berukuran kecil yang namanya mikrolet, nomor 219 jurusan mekar sari-pasar minggu. Sampai di pasar minggu, kami naik bus metromini bernomor 75 jurusan Blok m-Pasar Mingu.
Selama ini, kalau gue pulang dari kantor, biasanya gue setia nungguin Kopaja-bus yang mirip kayak metro mini tapi warnanya hijau bernomor 63 jurusan Depok-Blok M.

Bus 63 biasanya rame sama penumpang. Dan kalau gue bisa dapet tempat duduk, gue akan selalu berdoa dan bersyukur sama Tuhan. Karena walaupun jarak yang ditempuh gak begitu jauh, tapi macetnya bikin lo berharap untuk bisa jadi burung yang terbang bebas.

Maka, ketika gue menaiki bus 75, wauw. Gue sangat bersyukur karena, bus yag gue naikin sepi dan akan selalu begitu. Ternyata, di jam-jam segitu, lebih banyak orang yang pergi kea rah Blok M-Pasar Minggu dibandingkan dari Pasar Minggu kea rah blok M. Berbeda sekali dengan bus 63 yang selalu ramai dari berbagai arah.

Belum beberapa lama bus berjalan, masuk 3 orang muda dengan pakaian preman. Gue langsung ngelengos pasrah.
Kalau gue naik bus 69 jurusan Blok M-Ciledug dan sebalknya, gue mungkin akan biasa aja ngelihat preman-preman yang ngamen. Bahkan ada yang ngamen dengan cara nyiletin tangan dan mukanya! Kalau si preman itu muncul, gue akan buang muka dan bersikap sejutek-juteknya. Gak ada cara lain apa? Malah bikin orang males. Dan gue rasa, orang yang ngasih duit ke dia karena terpaksa takut ditodong.

Nah, balik ke bus 75. Si 3 preman ini terdiri dari seorang gitaris cowok yang merangkap sebagai backing vocal , seorang cewek sebagai vokalis tapi gak nyanyi, dan seorang cowok yang nyanyi dan suaranya kedengeran.  Mereka bertiga dandan layaknya preman dan suaranya pun justru bikin gue tambah pusing dengan kondisi bus yang berjalan berguncang-guncang.
Setelah menyanyikan 2 buah lagu, ritualpun dimulai. Mereka gak menyodorkan topi, atau gelas, atau plastic permen seperti umumnya seorang pengamen. Mereka mengadahkan tangan mereka membuat suatu cekungan dan menghampiri satu demi satu penumpang. Gue yang mememang gak pernah tahu seperti apa preman pasar  inggu, takut banget waktu dia udah deket ma gue. Mau ngasih, gue gak punya gope-an atau seribu-an. Maka dengan berharap dia gak maksa, dia pun melewati gue dan meninggalkan bau yang teramat memabokkan. Beuh. Gue tamabh mumet dan mual nyiumnya.

=Selang beberapa menit tidak sampai 5 menit, dating lagi 3 orang pengamen dengan gaya yang lebih biasa aja dengan formasi yang sama ! Ya, satu gitaris merangkap backing vocal, 2 vokalis pria dan wanita. Wauw. Ternyata, di 75 , itu merupakan suatu trend. Dan mereka pun menyanyi dengan suara si cowok yang menurut gue gak oke, tapi suara yang cewek lumayan oke juga.
Dan karena gak punya duit kecil, gue pun merelakan mereka melewati gue begitu saja.

Di lampu merah setelahnya, gue bener-bener kapok naik 75. Seorang anak kecil berbekal sebuah gitar kecil bersenar 4 atau yang biasa disebut okulele. Dia menyanyi sebuah lagu yang gak cukup kedengaran di telinga gue. Padahal gue yakin kalau paginya, gue habis bersihin kuping gue. Dan dengan muka memelas, dia menghampiri kami satu per satu. Dan gue rasanya gak tega dan mau nangis waktu dia datengin gue. Tapi mau gimana lagi ?!!! Gue bener-bener gak punya uang kecil !

Dan, berharap gejolak di dada gue berhenti tiap kali ketemu para pengamen, akhirnya, performance terakhir dari pengamen di 75 ditutup oleh seorang ibu-ibu yang menggendong anaknya dan menyanyikan lagu yang menginsyaratkan dia merindukan sang suami yang sudah laama pergi tak kembali.

Kondisi ini berbeda banget dari 2 kendaraan pribadi yang sering gue naiki. Yaotu 63 dan 69. Di 63,  selama ini gue hanya menemukan SATU pengamen dan itu SAMA. Dia adalah seorang bapak-bapak yang berbadan besar dan buta. Berbekal tongkat, tanpa bantuan orang lain, dia akan ngamen di 63. Dan dia Cuma berada di tempat yang SAMA. Yaitu tanjakan yang ada di Ampera Raya. Di suatu tanjakan yang setelah kuburan jeruk purut kalau dari arah ampera.  Nah, jalan tanjakan itu nantinya akan muncul di jalan Antasari. Macetnya parah banget  kalau di situ. Apalagi dengan adanya pembangunan jalan layang non-tol Antasari-Blok M.

Selain itu,pengamen-pengamen yang muncul di 69 biasanya jauh lebih kreatif. Mereka punya suara yang oke-oke, permainan musiknya manteb, dan bahkan ada juga yang bisa main biola. Nah, jadi guepun gak males untuk ngasih seribu atau berapa lah.

Cuma, kalau ada pengamen yang Cuma modal tampang sedih dan amplop yang menyatakan kondisi keluarganya yang kalau gue baca, SEMUANYA SERAGAM. Cuma dibedai-bedain letaknya tapi intinya sama. Orangtua gak mampu, dia terpaksa.

Gue gak bisa nyalahin mereka. Tapi, gue juga bingung kalau harus ngasih. Di satu sisi, gue bener-bener kasian dan gak tega. Tapi di sisi lain, dengan gue ngasih ke emreka, sama aja kayak ngasih harapan. Harapan yang justru bikin mereka terus bergantung pada kemampuan mereka mengoyak hati para penumpang. Kalau udah gini, pasti jadi galau sendiri.

Ngasih salah, gak ngasih juga kesannya salah. Haduuuuuhhhh

Coba aja pemerintah benar-benar lebih serius menangani hal ini. Mendukung pendidikan anak yang kurang mampu, dan melatih masyarakat kurang mampu dalam suatu keahlian tertentu. At least, pengamen pengamen itu gak akan sebanyak saat ini. Karena selain menggangu, yang mereka lakukan juga membahayakan diri mereka sendiri.

No comments:

Post a Comment